Friday, December 14, 2012

Prisoner of Ur Heart



Sinopsis :
“Bukankah bagus kalau kita satu apartemen dan satu kampus? Aku bisa menjagamu setiap saat seperti yang ditugaskan Mamamu.”
“Aku nggak butuh baby sitter. Aku udah dewasa, tahu!” jawab Elaine setengah jengkel.
Laki-laki itu terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Kamu harus belajar untuk menerima kehadiranku, Elaine. Karena suka atau nggak, selama kamu berada di Sydney, akulah orang yang akan menggantikan kedua orangtuamu untuk menjagamu.”
Impian Elaine untuk kuliah di Sydney akhirnya terwujud. Namun ternyata impian itu tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Bagaimana tidak, mamanya mengutus seorang ‘pelindung’ untuk menjaga Elaine selama di Sydney. Seseorang yang berhak memantau dan melaporkan segala aktivitas Elaine, juga mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Elaine merasa terpenjara di dalam hidupnya sendiri.
Tapi mengapa hati Elaine selalu berdebar setiap menatap mata cowok itu? Mengapa ia cemburu saat melihat pelindungnya bersama wanita lain? Mengapa semakin lama pikirannya semakin dipenuhi oleh dia?
Ditulis dengan sangat manis, romantis, mengharukan, tanpa mengabaikan nilai-nilai yang bisa dipetik dalam kehidupan. Bertaburan quotes namun tidak terkesan menggurui. Irin akan membawamu pada sebuah kisah manis di belantara Sydney yang mengagumkan. Sebuah novel yang menyentuh!”(Yoana Dianika, penulis novel Till We Meet Again dan Truth Or Dare)
———————————————————-
BOOK TRAILER PRISONER OF UR HEART: http://youtu.be/L2dck8JPpLE


Sneak Peak : 
PROLOG
Gadis itu meraih kotak hitam di dalam paket tersebut dan membukanya. Matanya melebar saat menatap buku bersampul biru langit itu. Jantungnya mendadak berdebar kencang, debaran yang hampir dilupakannya sejak lelaki itu tidak ada lagi di sisinya.
Ia meraih buku itu. Airmata haru seketika merebak memenuhi pelupuk matanya saat membaca sebaris kalimat yang tertulis di halaman pertama buku tersebut.
Untuk Elaine, alasan mengapa buku ini ada.
 ***
CHAPTER 1
Senyum mengembang di bibir Elaine saat pesawat yang ditumpanginya mendarat di Sydney Kingsford Smith International Airport. Matanya mengerjap penuh binar saat menatap langit Sydney dari balik jendela pesawat. Di sinilah sejak dulu ia ingin berada. Dan ia hampir tidak percaya bahwa ia benar-benar telah berhasil mewujudkan keinginannya.
Entah sudah berapa lama sejak gadis berambut brunette[1] itu berbetah diri menikmati pemandangan di luar jendela saat seseorang menyentuh bahunya. Pemilik sepasang mata indah bermanik hitam itu tersentak. Elaine menoleh dan mendapati seorang pramugari cantik tengah tersenyum ramah padanya.
“Apa Anda baik-baik saja?” tanya pramugari itu dengan logat british-nya yang kental. Elaine mengerjap, bingung dengan pertanyaan yang disodorkan sang pramugari padanya. Bukan karena  tidak mengerti ucapannya, tapi bertanya apakah ia baik-baik saja? Memangnya dia terlihat sakit?
“Anda menanyakan keadaanku?” Elaine menjawab pramugari itu dengan bahasa Inggrisnya yang fasih.
Pramugari itu mengangguk. “Saya hanya ingin memastikan bahwa Anda baik-baik saja. Para penumpang lain sudah turun dan saya menemukan Anda masih duduk di sini. Saya pikir Anda sedang sakit atau semacamnya.”
Elaine terkesiap mendengar ucapan pramugari itu dan menatap ke sekitarnya dengan panik. Benar saja, pesawat yang ditumpanginya sudah kosong tanpa penumpang. “Oh, astaga. Maafkan aku,” katanya seraya melepaskan seatbelt-nya. Buru-buru ia meraih tas ranselnya dan turun dari pesawat sebelum sang pramugari kembali menegurnya lagi.
Elaine terpaksa harus berjalan kaki cukup jauh sampai ke pintu kedatangan, karena bus yang seharusnya membawa para penumpang sudah terlanjur pergi. Ia bernapas lega saat akhirnya tiba di sana. Elaine berjalan masuk mengikuti papan penunjuk arah dan menemukan sebuah eskalator yang membawanya naik menuju tempat pemeriksaan passport.
Begitu sampai di ruangan kaca itu, Elaine mempercepat langkahnya menuju barisan antrian sambil membetulkan posisi tas ranselnya. Syukurlah hari ini bandara tidak terlalu ramai sehingga ia tidak perlu terlalu lama mengantri.
Apakah laki-laki itu sudah datang? Elaine melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya seraya bergumam dalam hati. Sudah lewat setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Seharusnya ia sudah ada di tempat ini sedari tadi.
Setelah lima belas menit mengantri, akhirnya Elaine mendapatkan gilirannya juga. Ia tersenyum simpul pada sang petugas seraya menyodorkan passport serta incoming passenger card-nya.
“Maaf Pak. Bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanya Elaine saat petugas passport control bertubuh pendek itu selesai mengecap passport miliknya.
“Ya tentu. Apa ada yang bisa saya bantu, Nona?” jawab sang petugas ramah.
“Saya dari Indonesia, dan ini kali pertama saya ke Sydney. Saya ingin tahu, di mana saya bisa mengambil bagasi saya?”
“Oh, baggage claim ada di sebelah sana, Nona. Langsung saja ke sana, akan ada petugas yang akan membantu Anda di situ,” ujar petugas itu seraya menunjuk tempat yang dimaksudkannya.
“Ah ya. Terima kasih atas informasinya,” ujar Elaine seraya tersenyum. Ia meraih passport-nya dan bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Setelah kopernya berhasil ia ambil, Elaine masih harus melewati beberapa pemeriksaan sampai akhirnya ia dipersilakan menuju gerbang keluar. Elaine menghela napas lega saat semua prosedur yang tak begitu dipahaminya itu selesai dilaluinya.
“Di mana dia?” Elaine mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang katanya akan menjemputnya itu. Gadis itu berdecak pelan. Ah, seharusnya ia tidak mendengarkan mamanya. Elaine mendesah seraya merapatkan mantel panjang berwarna coklat yang membungkus tubuhnya yang kedinginan. Siapa bilang bahwa laki-laki itu bisa diandalkan? Yang benar saja. Lihat kenyataannya. Ia bahkan belum datang untuk menjemputnya.
“Nona?” Seseorang menyapa Elaine dalam bahasa Indonesia. Ia menyentuh bahu Elaine dan menyentak gadis itu dari lamunan. Elaine berbalik dan mendapati seorang laki-laki berpostur tinggi tengah tersenyum menatapnya. Potongan rambutnya pendek dan rapi. Sepasang matanya yang teduh menatap Elaine dengan hangat. Garis wajahnya tegas, dengan belah dagu yang menyempurnakan setiap sudut wajahnya. Ia tidak terlalu tampan, tetapi ada sesuatu dari wajahnya yang membuat diri betah menatapnya. Tipe lelaki pintar dan berkharisma.
“Kamu Elaine kan?” tanya lelaki itu seraya tersenyum. Elaine mengerjap bingung saat mendengar namanya disebut. Bagaimana bisa laki-laki ini mengetahui namanya? Apakah dia salah dengar atau jangan-jangan dialah…
“Aku Fabian Tanuwijaya. Mamamu yang menyuruhku menjemputmu. Tante Maya, itu mamamu kan?” ujar lelaki yang mengaku bernama Fabian itu, seolah dapat membaca isi pikiran Elaine.
Kerutan samar di kening Elaine memudar seketika saat mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya. Jadi dialah si pelindung itu. Elaine bergumam pada dirinya sendiri. Fabian Tanuwijaya. Itu kan nama yang selalu mamanya sebut-sebut akhir-akhir ini? Elaine memutuskan untuk mengangguk.
“Ya, aku Elaine.”
“Ah, syukurlah aku tidak salah orang. Kamu memang persis seperti di foto,” ujar Fabian seraya mengulas senyum lega. Ia meraih koper di tangan Elaine, kemudian menatap gadis itu dengan ramah. “Ayo, ikut aku. Aku akan mengantarmu ke apartemen,” ujar Fabian kemudian melangkah pergi.
“Eh, tunggu, tunggu!” Elaine mengejar langkah-langkah lebar Fabian saat laki-laki itu semakin menjauh. Fabian menghentikan langkahnya saat mendengar suara teriakan Elaine yang keras. Ia berbalik dan mendapati gadis blasteran Indo-Prancis itu tengah berlarian mendekatinya.
“Siapa yang mengizinkanmu mengambil koperku?” ujar Elaine saat ia sampai di hadapan Fabian. Sepasang mata bermanik hitamnya yang indah membelalak menatap Fabian. Buru-buru, tangannya terulur untuk merebut kembali hak miliknya yang telah ‘dijajah’ laki-laki itu. Fabian yang sama sekali tidak menyangka akan dituding sebagai pengambil koper tanpa izin itu tersenyum tipis melihat tingkah Elaine.
“Mengambil? Aku hanya ingin membantumu membawa barang-barang bawaanmu.”
Elaine menggelengkan kepalanya. Matanya melotot protes pada Fabian. “Tidak perlu. Aku bisa membawanya sendiri.”
Fabian mengangguk, berusaha menyembunyikan senyumnya. “Baiklah. Tidak masalah buatku. Ayo kita ke mobil. Cuaca sepertinya semakin dingin. Dan Elaine, sebaiknya selain mantel, lain kali kamu harus memakai baju tebal agar tetap merasa hangat.”
***
Sinopsis Prisoner of Ur Heart: http://irinsintriana.wordpress.com/novels/Book Trailer: http://youtu.be/L2dck8JPpLE

[1] Brunette adalah sebutan untuk orang yang memiliki rambut berwarna cokelat (muda/tua), hitam kecoklatan, atau hitam.

No comments:

Post a Comment