Thursday, May 17, 2012

My Only (Irin Sintriana)

Sinopsis :

Dia hadir tiba-tiba, tanpa permisi dan tanpa jeda.
Menyuguhkan sepotong rasa.
Tak biasa, namun begitu menggoda.

Berkali mencoba menghindar, hati ini semakin tergetar.
Rasa yang tidak pernah kucari namun datang sendiri.
Tak mampu kuberlari apalagi sembunyi.

Inikah rasa yang mereka sebut cinta?
Jika itu benar, aku takkan lagi mengingkarinya.
Karena sampai detik ini, kuakui aku makin cinta.





Keluarga adalah rumah, tempat berlindung, bercengkrama, dan berbagi keluh kesah. Keluarga memberi cinta, rasa percaya, dan keyakinan bahwa tidak ada yang sia-sia. Mari membaca cerita tentang keluarga, belajar tentang c

inta dan rasa bahagia. (Sefryana Khairil, penulis novel Dongeng Semusim, Rindu, dan Coming Home)

Lucu, romantis, dan menyentuh. Itulah tiga kata yang terlintas di benak saya saat membaca novel ini. Ada sensasi asam manis di dalamnya. Buku yang patut dibaca oleh semua pecinta novel! (Intan, freelancer)

-------------------------------------------------
BOOK TRAILER MY ONLY:
http://youtu.be/rl2vqSIpSkI




>CUPLIKAN<


PROLOG
“Ayah jahat!”
Tisya meronta ketika Tio menariknya dengan paksa ke gudang. Ia menangis ketika ayahnya mendorongnya masuk ke dalam ruangan kecil dan gelap itu.
“Lepasin… lepasinnn! Tisya nggak mauuuu…. Tisya nggak mau lagiiii…” teriak Tisya memberontak. Ratih mengejar langkah Tio dengan wajah pucat pasi.
“Tio, lepaskan Tisya! Kumohon Tio!”
“Diam kau Ratih!” ujar Tio sambil mendorong istrinya hingga terjatuh. Tubuh mungil Tisya didorong masuk dengan paksa ke dalam ruangan dan dalam sekejap pintunya telah berhasil dikunci Tio.
“Ibu… Ibuu… Tisya takut Buu…” teriak Tisya sambil terus memukul pintu gudang yang gelap itu.
“Tio, kumohon…” tangis Ratih sembari memeluk kaki suaminya. “Lepaskan Tisya, Tio! Kumohon…”
“Kalau sekali lagi aku mendengar dia bersuara, aku tidak akan memberinya ampun!!!” teriakan Tio menggelegar di seluruh ruangan. Lelaki tinggi tegap itu melempar kunci gudang ke wajah Ratih dan pergi dengan marah.
Ratih bergegas meraih kunci yang dilempar Tio dan membuka pintu gudang. Ia masuk dan mendapati Tisya, putri sematawayangnya yang masih berumur 10 tahun, dengan tubuh gemetaran tengah memeluk kedua kakinya erat. Ratih segera mendekati Tisya dan memeluk gadis kecilnya itu. “Maafkan Ibu, Nak…” airmata Ratih tumpah kala itu.
“Tisya nggak mau lagi Bu… Tisya nggak mau dikunci lagi di gudang. Tisya takut dengan Ayah, Bu. Ayah jahat. Tisya takut, Bu. Tisya takut…” ujarnya terisak. Ratih mengelus-elus rambut panjang Tisya dengan lembut sambil terus memeluk putrinya.
“Kalau kamu tidak mau dikunci seperti ini lagi, jangan meneriaki Ayahmu ketika dia memukul Ibu. Itu hanya akan membuatnya marah dan menguncimu di sini,” ujar Ratih lirih.
“Tapi Tisya tidak tahan melihat Ibu dipukuli terus,” ujar Tisya yang membuat Ratih semakin terisak. “Maafkan Ibu, Nak. Semuanya salah Ibu… Maafkan Ibu… Maafkan Ibu…”
***
CHAPTER 1
Ben menatap wanita di meja ujung itu dengan penasaran. Sedari tadi guru baru bernama Tisya itu tidak menggubris sapaannya sama sekali. Jangankan membalas sapaan, menoleh atau melirik pun tidak pernah ia lakukan. Dengan suara teriakan sekencang itu, Ben hanya bisa meyakini dua hal: Tisya memiliki gangguan pendengaran atau sengaja tidak ingin menggubrisnya.
“Mau teh?” tanya Dian sembari menyodorkan segelas teh hangat ke hadapan Ben, membuyarkan lamunan pria berambut cepak itu. Ben menerima tawaran itu dengan senang hati, kemudian menyeruputnya.
“Di, kamu yakin wanita yang katamu bernama Tisya itu adalah guru baru di sini?”
Dian menoleh mengikuti telunjuk Ben yang tengah menunjuk seorang wanita berambut ikal yang wajahnya sangat mirip artis cantik Dian Sastrowardoyo. “Iya, benar dia. Nanti dia bakal mengajar Bahasa Indonesia, menggantikan Rani yang akan menikah beberapa bulan lagi.”
“Beneran?”
“Ada apa sih Ben?” tanya Dian penasaran. Tidak seperti biasanya Ben terlihat begitu antusias. “Are you fallin’ in love with her?” tanya Dian sambil tersenyum usil. Ben tersenyum sinis mendengar ucapan sahabatnya.
“Aku hanya heran saja pada guru baru itu. Dia sama sekali tidak mau menggubris panggilanku.”
Oho, Ben bisa juga penasaran dengan wanita ya?” ujar Dian meledek. “Mau kubantu memastikan?” tanya Dian menawarkan diri. Ben menggeleng dengan penuh percaya diri, “Biar aku bereskan sendiri.” Ben bangkit dari duduknya dan menyisir rambut cepaknya dengan gaya super cool. Ben melangkah perlahan menuju meja Tisya dan berhenti tepat di samping bangku wanita itu. “Tisya ya?” tanyanya dengan suara yang sengaja diatur penuh wibawa. Ben meyakini bahwa dengan cara ini paling tidak Tisya akan sedikit terpana dan menatapnya. Sayangnya Tisya sama sekali tidak berniat menjawab sapaannya. Ia yakin sekali wanita itu mendengarnya. Ben menoleh menatap Dian yang tengah cekikan di ujung sana. Lihat saja Dian, siapa yang akan tertawa belakangan!
Ben berdeham panjang, mengatur emosinya yang tengah membuncah karena dicuekin. Ia tidak ingin kehilangan kharismanya sebagai seorang pria. Sekali lagi ia menyapa wanita itu dengan penuh wibawa. “Benar kan, kamu Tisya, guru Bahasa Indonesia yang baru itu? Tidakkah kamu mendengarku menyapamu? Apa aku tidak punya kesempatan untuk mengenalmu sedikitpun?” ujar Ben yang tiba-tiba merasa bangga sendiri dengan keahliannya merayu. Ia merasa senang sekali ketika kata-katanya berhasil membuat Tisya mengalihkan perhatiannya dari laptop. Untuk pertama kalinya mata mereka bertemu. Walau hanya sekejap, Ben langsung menyadari keindahan sepasang mata itu.
“Berubah pikiran? Sekarang waktunya walaupun sudah sedikit terlambat,” ujar Ben jenaka. Diulurkannya tangannya untuk menyalami Tisya. Ia sudah mengira Tisya akan takluk pada kata-katanya. Namun dugaan Ben ternyata meleset. Wanita itu sama sekali tidak berniat menyambut uluran tangannya. Tisya meraih tas laptopnya dan bergegas memasukkan buku-buku serta laptop yang dibawanya ke dalam sana, hendak pergi meninggalkan Ben.
“Hei, tunggu!” sergap Ben panik. Ben menarik lengan Tisya ketika ia melihat wanita itu bangkit dari duduknya. Tisya merasa kaget bukan kepalang ketika Ben menyentuhnya. Dihempaskannya tangan Ben dengan kasar. Rupanya Ben juga merasa kaget dengan reaksi berlebihan yang ditunjukkan Tisya.
“Sori, tapi aku tidak berniat bersikap kurang ajar padamu,” sanggah Ben buru-buru.
“Apa yang kamu mau dariku?” tanya Tisya kesal. Ia benar-benar muak dengan Ben. Sedari tadi pria ini terus memanggil-manggil namanya, membuatnya kehilangan konsentrasi dalam menyusun RPP yang diminta oleh suster kepala sekolah. Sekarang entah apa lagi maunya.
“Aku? Tidak menginginkan apa-apa selain pertemanan! Seniormu menawarkan sebuah persahabatan, Tisya.”
“Aku tidak mengenal pertemanan antara pria dan wanita,” ujar Tisya dingin. Ia lalu melangkah pergi meninggalkan Ben. Ben terkesima mendengar jawaban Tisya.
“Hahaha, playboy kena batunya lu!” teriakan Dian yang membuat Ben mendengus sebal. Tidak mengenal pertemanan antara pria dan wanita? Apa lagi itu?!

No comments:

Post a Comment